Wednesday, February 5, 2020

Kode Etik dan Psikologi

kode etik, psikologi, kode etik psikologi indonesia, pengertian kode etik, asas-asas dalam kode etik psikologi, hambatan bersikap profesional, ijin praktek psikologi, pengertian praktek psikologi, pentingnya surat ijin praktek psikologi

BAB II
PEMBAHASAN

I.            KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA
A.    Pengertian
Kode etik artinya aturan tata susila atau sikap akhlak (moral). Kode Etik Psikologi Indonesia adalah aturan tata susila atau sikap akhlak (moral) para sarjana psikologi yang harus dipatuhi dalam melakukan pekerjaan atau praktek profesi.dengan adanya Kode Etik Psikologi, tiap ilmuan psikologi dan psikologi yang melakukan praktek harus memperhatikan rambu-rambu profesi yaitu apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, atau apa dan bagaimana seharusnya bersikap secara prefesional. Kode etik psikologi ini disusun untuk di taati dan dijunjung tinggi oleh ilmuan psikologi dan psikologi dalam pelaksanaan pemberian jasa psikologi dan praktik psikologi, seperti pemberian jasa konsultasi dan psikoterapi, penyaji tes psikologis, pengajaran dan penelitian, supervisi, dan penelitian; dan dijaga agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan (malpraktek) dengan harapan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan pada pelaku-pelaku profesi psikologi khususnya,dan kepercayaan masyarakat terhadap profesi psikologi pada umumnya. Kode etik mengandung prinsip-prinsip yang mengatur:
a.       Hak dan kewajiban profesional dengan teman sejawatnya
b.      Hak dan kewajiban psikolog dalam hubungannya dengan klien
c.       Hak dan kewajiban menyimpang dan menggunakan data yang diperoleh karena profesinya secara bertanggung jawab
d.      Serta nilai-nilai normatif lainnya yang telah disepakati dalam profesi psikologi.



B.     Asas-asas Dalam Kode Etik Psikologi
Kode etik psikologi memiliki asas-asas yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab oleh para anggotanya. Asas-asas yang terkandung dalam kode etik psikologi antara lain:
1.      Asas Konfidentialitas (confidentiality) yaitu dalam menjalankan tugas profesinya, psikolog dan ilmuan psikologi harus memegang teguh kerahasiaan segala sesuatu yang diketahuinya sebagai akibat atau hasil dari pekerjaan profesinya. Oleh karena itu dalam menjalankan praktek sebagai psikolog harus dapat menyimpan rahasia kliennya. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka masyarakat yang akan memerlukan jasa psikologi tidak akan takut atau ragu bahwa rahasia pribadinya akan tersebarluaskan atau diberitahukan kepada orang lain yang seharusnya memang tidak perlu mengetahui. Apabila terjadi rahasia klien (akan) disebarluaskan atau diberitahukan kepada orang lain berarti bisa dianggap membuka aib seseorang yang seharusnya dilindungi oleh psikolog yang memberikan jasanya dengan memegang asas konfidentialitas diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi psikologi yang selanjutnya justru mendatangkan keuntungan (martabat, finansial, dan lain-lain) kepada psikolog yang bersangkutan khususnya dan psikolog yang lain pada umumnya.
2.      Asas Privasi (privascy) yaitu asas tentang adanya hak seorang individu untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri mengenai pikiran, perasaan, atau data dirinya yang dapat diberikan pada orang lain (psikolog). Berdasarkan asas ini seorang psikolog tidak boleh memaksa klien (individu) untuk memberikan pernyataan atau data tentang dirinya yang menurut klien tersebut dianggap sebagai suatu rahasia yang harus disimpan baik-baik. Dalam proses konsultasi psikologi, klien berhak memilih untuk menetapkan bagian mana dari perasaan atau pikiran dan data lain yang akan diberikan kepada psikolog sesuai kebutuhannya. Dalam hal ini, keterampilan psikolog untuk dapat menggunakan teknik-teknik tertentu sebagai jurus andalannya mendapat tantangan dalam menghadapi klien tanpa mengorbankan dan melanggar asas privasi yang dimiliki lien. Secara profesional psikolog tertantang untuk dapat menggungkap persoalan sebenarnya yang dihadapi klien, sedang dilain pihak secara ikhlas mau memberikan data yang diperlukan tanpa merasa dilanggar hak privasinya.
3.      Asas hak istimewa (privilege) yaitu adanya hak tertentu bagi klien untuk mengatakan atau tidak mengatakan tentang sesuatu mengenai dirinya kepada orang lain yang memiliki hubungan kepentingan tertentu. Hal ini bisa juga disebut sebagai adanya hak kekebalan bagi klien untuk melindungi dirinya dari pengetahuan orang lain (dalam hal ini psikolog). Seorang klien mungkin karena alasan tertentu memiliki kekhawatiran atau masih agak kurang percaya bahwa psikolog yang menanganinya akan menyimpan rahasia dirinya dengan baik setelah pross konsultasi, sehinggga akan menggunakan hak privasi dan kekebalannya. Pengguna hak privasi serta kekebalan klien tidak terlepas dari kepercayaan klien terhadap asas konfidentialitas. Jika hal ini terjadi berarti proses konsultasi akan mengalami hambatan atau ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, peningkatan profesionalisme dalam menjalankan praktek sebagai psikolog menjadi kewajiban/tuntutan tiap sarjana psikolog (indonesia).
Dengan menggunakan asas-asas kode etik tersebut, seorang psikolog dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam menjalankan praktek profesinya.

C.    Hambatan Bersikap Profesional
Motivasi sebagai psikolog untuk dapat bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan tugas profesinya saat ini memang terasa. Akan tetapi untuk mewujudkan motivasinya tersebut, psikolog kadang-kadang mengalami hambatan. Meskipun usaha untuk menghadapi hambatan telah dilakukan lebat berbagai kegiatan, namun terkadang masih ada kegagalan-kegagalan menghadangnya. Diantara hambatan yang mungkin menjadi sumber kegagalan dapat dibedakan antara hambatan objektif dan hambatan subjektif.
Hambatan bersifat objektif, karena sumbernya berada diluar jangkauan kekuasaanya, yaitu berada diluar dirinya sedang hambatan bersifat subjektif terletak pada diri psikolog yang bersangkutan, sehingga pengatasannya tergantung niat baik yang bersangkutan.


1.      Hambatan subjektif
a.       Keterbatasan pengetahuan tentang masalah yang dihadapi
b.      Keterbatasan ketrampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
c.       Keterbatasan alat diagnosis yang cocok/sesuatu dengan kasus/masalah yang dihadapi
d.      Keterbatasan komunikasi dengan klien, karena kesulitan bahasa atau tingkat kecerdasannya.
Untuk mengatasi berdagai keterbatasan tersebut, jalan paling baik adalah jika psikolog yang bersangkutan mau belajar terus menerus untuk lebih meningkatkan kemampuan sehingga hambatan tersebut tidak akan terjadi lagi.
Hambatan subjektif lain yang lebih bersumber pada kepribadian psikolog yang bersangkutan yaitu menyangkut sikap mental (moral). Hal ini dapat dikatakan bersumber pada nafsu atau motivasi yang sesat, antara lain yaitu:
a.       Ingin cepat kaya, sehingga menetapkan tarif yang kurang seimbang denan jasa yang    diberikan.
b.      Ingin menonjol/ merasa ahli dan hebat, diantara sesama profesi, sehingga mungkin secara sadar atau tidak sadar menjatuhkan wibawa atau bahkan memfitnah teman sejawatnya. Solidaritas kejawatan diabaikan. Selain itu, bentuk lainnya adalah bahwa untuk meraih popularitasnya dengan cara mencari klien sebanyak-banyaknya lewat banting taris jasa pelayanan, namun memberi pelayanan dibawah patokan yang baku.
c.       Ingin terkenal bsebagai ahli yang hebat, sehingga bukan saja menggunakan pengetahuan psikologi yang benar, akan tetapi menggunakan teknik-teknik atau metode yang tidak dikenal/ dibakukan dalam bidang psikoterapi atau bentuk jasa psikologi jasa lainnya. Akibat terjadi kecendrungan praktek sebagai PSIKUM (praktek perkedokan psikolog, akan tetapi pada hakekatnya praktek perdukunan).
Perwujudan nafsu-nafsu sebagai penyaluran ‘motivasi sesat’ lainnya masih banyak ragamnya. Akan tetapi sebagai contoh bahwa paktek psikologi dapat secara tidak sadar dilakukan oleh seseorang karena dorongan nafsu-nafsu tertentu, yang secara tidak sadar mengarah pada pelanggaran kode etik.
2.      Hambatan objektif
Diantara sumber hambatan objektif antara lain adalah karena pengaruh kemajuan teknologi yang pesat, sementara psikolog belum atau tidak mengikuti perkembangan, sehingga akibatnya diagnosis yang diterapkan tidak/ kurang sesuai dengan kebutuhan. Hambatan juga dapat terjadi karena klien terlalu teguh menggunakan hak privasi atau hak privasilege, sehingga kerjasama yang diharapkan dari klien tidak akan diketemukan oleh psikolog.jika hal ini terjadi jelas psikolog yang bersangkutan tidak dapat memberikan jasa psikolog secara maksimal. Untuk mengatasi hambatan-hambatan objektif inipun menjadi tantangan psikolog yang bersangkutan untuk lebih meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang mendukung profesionalismenya.

II.            IJIN PRAKTEK PSIKOLOGI
A.    Pengertian Praktek Psikologi
Yang dimaksud dengan praktek psikologi adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog yang memberikan jasa dan praktek kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnotik. Pengertian praktek psikolog tersebut termasuk melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING dan PSIKOTERAPI. Jasa psikologi adalah jasa kepada perorangan atau kelompok/organisasi/institusi yang diberikan oleh ilmuan psikologi indonesia sesuai kompetensi dan kewenangan keilmuan psikologi dibidang pengajaran, pendidikan, pelatihan, penelitian penyuluhan masyarakat.
Yang dimaksud sebagai pengguna jasa psikologi atau pemakai jasa psikologi adalah perorangan, kelompok, lembaga, atau organisasi. Pemakai jasa juga dikenal dengan sebutan KLIEN. Sehingga dengan demikian dalam melaksanakan kegiatanya, ilmuan psikolog dan psikolog mengutamakan kompetensi, objektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma kehlian serta menyadari konsekuensi tindakannya. Ilmuan psikolog wajib menyadari bahwa perilakunya dapat mempengaruhi citra ilmuan psikologi dan psikolog serta profesi psikologi.
Bagian ini menjadi amat penting untuk diperhatikan oleh setiap pengguna jasa psikologi khususnya bila mereka menerima/meminta jasa praktek psikologi yang diberikan oleh Psikologi. Pengguna jasa praktek psikologi/ klien berhak tahu apakah ia memberikan layanan oleh psikolog yang bertanggung jawab atau tidak. Apakah yang bersangkutan dilayani oleh yang mengaku psikolog atau tidak.
Psikolog yang memiliki tanggung jawab adalah psikolog yang mengutamakan kompetensi, objektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya. Artinya psikolog selain perlu melindungi dirinya juga harus tahu bahwa hak klien juga perlu dilindungi. Oleh karenanya, seorang psikolog yang memiliki tanggung jawab, akan memiliki ijin praktek sebagaimana yang ditentukan oleh organisasi profesinya. Dengan psikolog memiliki ijin praktek ini, secara tegas dan nyata juga menjunjung tinggi kode etik psikologi indonesia serta tatacara dalam menjalankan prakteknya.
Hal ini juga berarti psikolog menghormati hak klien dimana klien boleh dan bisa meminta pertanggungjawaban terhadap praktek psikologi yang dijalankannya. Psikolog juga menyadari bahwa banyak yang mengaku sebagai psikolog namun sama sekali tidak mewakili wewenang untuk menjalankan praktek psikologi. Oleh karena itu sebagai bentuk tanggung jawab seorang psikolog perlu memiliki ijin praktek.

B.     Pentingnya Surat Ijin Praktek Psikologi
Surat ijin praktek. Psikologi perlu dimiliki oleh para psikolog yang akan melaksanakan praktek psikologi, dengan tujuan antara lain sebagai berikut:
1.      Memberikan perlindungan kepada klien dari malpraktek yang dilakukan oleh pemberi jasa psikologi yang kurang? Tidak bertanggung jawab. Dengan keharusan memiliki surat ijin praktek psikologi, pemberi jasa psikologi daoat diketahui identitasnya, alamat prakterk, latar belakang kemampuan dan baku tidaknya prosedur pemberian jasa psikologi yang dilakukan. Dengan perlindungan tersebut berarti pemerintah berusaha melindungi klien dari kemungkinan menjadi korban penipuan.
2.      Memberi perlindungan kepada masyarakat luas dari kemungkinan penipuan oleh orang-orang yang tidak/ kurang bertanggung jawab, baik karena sebenarnya mereka tidak memiliki wewenang melakukan praktek psikologi disebabkan tidak memiliki kemampuan yang diperlukan, maupun karena kedok/ motif untuk mencari keuntungan pribadinya. Dengan pencantuman ada tidaknya surat ijin praktek oleh setiap orang yang membuka praktek psikologi, maka masyarakat dapat mengintrol orang yang bersangkutan
3.      Pemerintah dapat mengintrol setiap pemohon surat ijin praktek menyangkut kemampuan yang dimiliki oleh pihak bersangkutan yang diperlukan untuk dapat memberikan layanan jasa psikologi sesuai pembakuan yang berlaku dalam lingkungan profesi psikologi
Perlindungan kepada profesi psikologi pada umumnya, yaitu dengan kontrol pemberian surat ijin praktek, dapat diminimalkan pelaksanaan praktek psikologi oleh orang-orang yang tidak berwenang.