EKSISTENSIALISME
Definisi
eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri
tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun
demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat
eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral
Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang
eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar
eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang
berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya
sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau
pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di
sana, sein artinya berada).
Dari uraian di
atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa
ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan
demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau
sedang itu.
Untuk lebih
memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi
adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain
tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di
dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang
sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
Latar
Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat
eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia
walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat
bertahan dari berbagai kritik.
Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis,
orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia
dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke
krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai
krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya
atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut
pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada
prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu
yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya
memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama
saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini
memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan
aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain
selain pikiran.
3. Situasi dan
Kondisi Dunia
Munculnya
eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat
yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama
yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian
merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami
krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu
memberikan makna pada kehidupan.
Tokoh-tokoh
Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh
eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche,
Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah
ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh
lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye
Kierkegaard
Soren Aabye
Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya
berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas
Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas
tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas
dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia
kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun
1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The
Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan
pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat
umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff
(Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya
yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller
(1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada
kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige
Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into
Death) tahun 1948).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Tentang
Manusia.
Kierkegaard
menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang “bereksistensi” bersama
dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan,
keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918,
terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan
filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur pemikiran
Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi
seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan “wujud” secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu
memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama
Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya,
pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan
menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna
kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat
gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang
akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi
seorang kristiani.
Kierkegaard
bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena
Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai
sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak
suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk
akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang
menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya
gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat
mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja
yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi
manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah,
bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya
berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam
kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya
bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya.
Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani
berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam
lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat
dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap
hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu.
Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman
yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia
juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak
hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi
batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan
dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal
konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak
kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal
manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat
dijembatani lewat iman religius.
2. Jean Paul
Sartre
Jean Paul
Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan
ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas
Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh
ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre
dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan
bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi
ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif
terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre
berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi
katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama
apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan
dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra
adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya
sebagai pengarang.
Sartre tidak
pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah.
Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga
borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran
kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga
mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun
1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia
bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam
mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui
karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang
sangat terkenal adalah Being and notthingness, buku ini membicarakan tentang
alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme
dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat
mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea,
No Exit, The Files, dan The Wall.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai
berikut:
a. Tentang
Manusia
Bagi Sartre,
manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan
tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan
mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan
aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee
(1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul
beban tanggung jawab.
Sartre
mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka
dari itu “tak ada watak manusia”, oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki
konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu
sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari
luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan
bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre,
pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan
manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan
mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
b. Kebebasan
Dalam
pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan
manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu
eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan
ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme
dari Sartre.
Kebebasan akan
memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi
obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap
perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi
kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu
kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak
dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre
mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya
filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan
konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark
telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi
Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang
sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap
pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita
masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi
soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat
mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia
masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.