Thursday, January 23, 2020

Makalah Munakahat, Hukum dan Tujuan Pernikahan

makalah, makalah munakahat, makalah pernikahan, hukum, tujuan pernikahan, hukum pernikahan, persiapan nikah dan khutbah, khutbah nikah, perempuan yang haram dinikahi, pelaksanaan nikah, pembinaan kelurga, talak dan iddah, hikmah pernikahan

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Pernikahan, Hukum dan Tujuan Pernikahan
1.    Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menurut U U  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ غَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang  mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku  dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1.    Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
2.    Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).

2.    Hukum Pernikahan
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1.    Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.    Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir akan  terjerumus ke dalam perzinaan.
3.    Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.     Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.    Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

3.    Tujuan Pernikahan
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia         (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang     bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan          pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.    Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia  dan tentram. 
2.    Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang antara  suami, istri dan anak.
3.    Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.    Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai ibadah.
5.    Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى 
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa  tidak  senang  dengan sunahku, maka bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.    Untuk  memperoleh keturunan yang syah.

B.   Persiapan Nikah dan Khutbah

Keluarga sakinah tidak akan tercipta begitu saja, tanpa ada usaha dari kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan sejak pra-pernikahan. Usaha tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pencarian dan penetapan calon pasangan dengan berbagai pertimbangan yang sesuai anjuran Rasulullah.
Criteria mencari calon pasangan yang dianjurkan Rasulullah, diungkapkan dalam hadist yang artinya :
“Perempuan dinikah karena 4 perkara : karena cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau mendapat keuntungan. (HR. Bukhari dan Muslim)”
Faktor agama sangat penting dan menentukan terwujudnya keluarga sakinah. Suami-istri yang beragama akan sama-sama memiliki ukuran dan rujukan yang sama, yaitu agama. Jika suatu saat terjadi perselisihan antara keduanya, mereka akan merajuk pada nilai-nilai yang dipegang bersama, yaitu nilai agama.
Perkawinan akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dengan istri. Perbedaan budaya, adat, dan pendidikan pun tidak jarang mengakibatkan kegagala suatu pernikahan, apalagi agama.
Dalam masa pranikah sebaiknya dihindarkan berhubungan dengan orang yang berbeda agama. Seorang muslim diharamkan oleh syariat Islam untuk menikah dengan non-muslim. Pernikahan bukan semata-mata saling mencintai, melainkan memerlukan kesamaan pandangan dasar yang akan menguatkan tali perkawinan sepanjang hayat bahkan sampai akhirat. Al-Qur’an mengisyaratkan agar remaja tidak terjebak pada kecantikan atau ketampanan fisik dalam memilih calon pasangan, tetapi utamakan faktor agamanya, firman Allah yang artinya :     
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah, 2:221)”
Pertimbanga dalam menentukan pasangan mengutamakan segi agamanya, yaitu Islam serta memiliki sikap keberagamaan yang baik. Sikap beragama dapat dinilai dari konsistensi pelaksanaan ibadahnya, seperti salat, puasa dan sebagainya, serta perilaku yang ditampilkannya dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari.
Dalam persiapan pernikahan, pihak laki-laki melamar kepada pihak perempuan yang disebut khitbah yaitu pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan. Seorang perempuan telah dilamar oleh seorng laki-laki, ia diharamkan untuk menerima lamaran laki-laki lain, sebagaimana sabda Rasul yang artinya :
“Janganlah salah seorang diantaramu meminang pinangan saudaranya, kecuali pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin kepadanya. (HR. Bukhari dan Muslim)”
Persiapan Pra Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi dan ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah tangga samara (sakinah, mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja, melainkan butuh persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan.
Nikah adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian yang sangat berat). Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan suami-isteri dalam berumah tangga. Terutama bagi seorang muslimah, salah satu ujian dalam kehidupan diri seorang muslimah adalah bernama pernikahan. Karena salah satu syarat yang dapat menghantarkan seorang isteri masuk surga adalah mendapatkan ridho suami. Oleh sebab itu seorang muslimah harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut antara lain :
1.    Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi keislaman) Dalam tiap diri muslimah, selalu terdapat keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih, yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji, adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik….” (QS An-Nuur: 26).
Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan untuk mendapatkan seorang suami yang sholih, maka harus diupayakan agar dirinya menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan diri seorang muslimah sholihah, maka bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah dengan akhlaq islami, tujuan nya bukan hanya semata untuk mencari jodoh, tetapi lebih kepada untuk beribadah mendapatkan ridhoNya. Dan media pernikahan adalah sebagai salah satu sarana untuk beribadah pula.
2.    Persiapan konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)
Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala : meningkatkan pahala dari Allah, terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yang bujang” (HR. Tamam).
Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya. Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.
3.    Persiapan kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbiasa mandiri, maka pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang laki-laki yang menjadi suami kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita. Latar belakang, suku, kebiasaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
4.    Persiapan Fisik
Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada baiknya bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat.
5.    Persiapan Material
Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis, yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)”.
6.    Persiapan Sosial Setelah sepasang manusia menikah berarti status sosialnya dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga. Sehingga mereka pun harus mulai membiasakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga maupun di masyarakat. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,”Q.S. An-Nissa: 36).
Adapun persiapan-persiapan menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak dapat dengan begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk mengkajinya. Untuk itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh kesibukan rumah tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumah tangga kelak.
Khutbah nikah merupakan bagian atau salah satu jenis dari khutbah hajat. Perbedaan antara khutbah nikah dengan khutbah yang lainnya hanya terletak pada konteks keperluan dan situasi pelaksanaannya, yaitu ketika dilangsungkan prosesi pertunangan atau akad pernikahan. Membacakan khutbah nikah pada situasi seperti itu hukumnya dianjurkan dan sunnah sebagaimana disebutkan oleh kebanyakan ulama fiqih. Namun demikian ada diantara mereka yang memandangnya wajib, seperti menurut pendapat Dawud bin Ali dari madzhabAdz-Dzaahiriyyah, Abu Ubaid al-Qasim, dan Abu Awaanah dari ulama Syafiiyyah.
Kalangan yang mewajibkan khutbah nikah mendasarkan pendapatnya pada salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ
“Setiap urusan yang baik tidak diawali dengan pujian tehadap Allah adalah terputus (tidak sempurna)”
Selain dari itu, Nabi sendiri dalam melangsungkan akad pernikahan baik untuk dirinya sendiri maupun putra-putrinya  selalu menyertainya dengan pembacaan khutbah terlebih dahulu, seperti saat dia melangsungkan akad pernikahan dengan Khadijah, pamannya Abu Thalib membacakan khutbah nikahnya. Sementara ketika menikahi Aisyah binti Abu Bakar khutbah nikah Nabi dibacakan oleh Thalhah bin Ubaidillah. Ketika Fatimah, putri Nabi ditikahkan kepada Ali bin Abi Thalib, Nabi sendiri yang langsung membacakan khutbah nikahnya sekaligus untuk Ali dan wali nikah (Nabi).
Ulama yang memandang wajib khutbah nikah berpendapat bahwa khutbah nikah dalam suatu acara prosesi akad pernikahan merupakan kegiatan yang lazim dilakukan dan bisa diterima serta disepakati oleh orang-orang di setiap daerah dan setiap waktu, sehingga seolah-olah menjadi kesepakatan (ijma) yang tidak berdampak pada penentangan (khilaf). Khutbah nikah dapat menjadi kegiatan penting yang membedakan antara pernikahan yang penuh dengan kesucian, kemeriahan dan optimisme, dengan perbuatan zina yang penuh dengan dosa, penderitaan dan pesimisme. Khutbah nikah juga bisa menjadi tanda diumumkannya suatu pernikahan sebagaimana anjuran Nabi. Maka, khutbah nikah pun dengan demikian menjadi wajib dalam setiap akad pernikahan, sebagaimana wali dan saksi. Inilah setidaknya argumentasi yang dikemukakan oleh para pendudkung khutbah nikah.
Syarat dan Rukun Khutbah Nikah
Abu Hasan Al-Mawardiy mengemukakan dalam salah satu karya monumentalnya di bidang ilmu fiqh, Al-Haawiy Al-Kabiir, syarat dan rukun khutbah nikah. Menurutnya, syarat dan rukun khutbah nikah terdiri dari empat macam, yaitu:
·         Bersyukur dan memuji kepada Allah,
·         Bershalawat kepada Nabi SAW,
·         Berwasiat untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati-Nya
Membacakan salah satu ayat al-Quran, terutama ayat yang khusus membicarakan masalah pernikahan seperti ayat 32 dalam Surat an-Nuur

وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ

 Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me-mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
Mengenai ayat al-Quran yang dibacakan oleh seorang khatib apabila tidak berkaitan dengan masalah pernikahan, maka diperbolehkan, karena maksud dari pembacaan ayat tersebut adalah  untuk memperoleh berkah dari kalamullah.


C.   Perempuan yang Haram di Nikahi

Mahram adalah sebuah istilah yang berarti wanita yang haram dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Budha.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
1.       Kebolehan berkhalwat (berduaan), Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2.       Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Sedangkan hubungan mahram yang selain itu adalah sekedar haram untuk dinikahi, tetapi tidak membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua atau melihat sebagian dari auratnya. Hubungan mahram ini adalah hubungan mahram yang bersifat sementara saja.
Mahram Dalam Surat An-Nisa. Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah
·         Ibu kandung
·         Anak-anakmu yang perempuan
·         Saudara-saudaramu yang perempuan,
·         Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
·         Saudara-saudara ibumu yang perempuan
·         Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
·         Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
·         Ibu-ibumu yang menyusui kamu
·         Saudara perempuan sepersusuan
·         Ibu-ibu isterimu
·         Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
·         Isteri-isteri anak kandungmu
Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi Para Ulama. Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi dua klasifikasi besar.
·         Pertama mahram yang bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki dan perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya.
·         Kedua mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi.  
Mahram Yang Bersifat Abadi.  Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.
                        a. Mahram Karena Nasab
ü  Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
ü  Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
ü  Saudara kandung wanita.
ü  Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
ü  Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).
ü  Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
ü  Banatul Ukht / anak wnaita dari saudara wanita.
b. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
ü  Ibu dari istri (mertua wanita).
ü  Anak wanita dari istri (anak tiri).
ü  Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
ü  Istri dari ayah (ibu tiri).
c. Mahram Karena Penyusuan
ü  Ibu yang menyusui.
ü  Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
ü  Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
ü  Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
ü  Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
ü  Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
 Mahram Yang Bersifat Sementara. Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
·         Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
·         Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.
·         Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
·         Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
·         Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh dinikahi.
·         Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
·         Menikahi wanita pezina. Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
·         Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
·         Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.

D.   Pelaksanaan Nikah

Pernikahan dinyatakan sah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu adanya calon pasangan, wali, dua orang saksi, mahar atau mas kawin dan ijab qabul. Masing-masing rukun dijelaskan sebagai berikut :
1.    Calon pasangan suami-istri, yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah yang tidak diharamkan untuk menikah.
2.    Wali, yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali nasab maupun wali hakim.
wali yang mempunyai hubungan darah dengan perempuan yang dinikahkan sebagai berikut :
a)    Ayah kandung
b)    Kakek dari ayah
c)    Saudara laki-laki seibu seayah
d)    Saudara laki-laki seayah
e)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah
f)     Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
g)    Saudara laki-laki dari seibu seayah dari ayah
h)    Saudara laki-laki seayah dari ayah
i)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah dari ayah
j)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari ayah.
3.    Saksi, yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atas terjadinya suatu pernikahan untuk menguatkan akad nikah yang terjadi dan menjadi saksi keabsahan keturunan yang lahir dari pernikahan tersebut.
4.    Mahar, yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan ketika pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran Islam, tetapi dianjurkan disesuaikan dengan kemampuan laki-laki. Apabila perempuan itu bercerai sebelum bercampur (qabla dukhul), laki-laki memiliki hak untuk menerima pengembalian mahar seperduanya. Apabila perceraian itu terjadi setelah bercampur (ba’da dukhul), maka perempuan memiliki hak sepenuhnya terhadap mahar yang diterimanya ketika pernikahan. Mahar merupakan hak perempuan (istri). Oleh karena itu, jika istri tidak memberikan atau menyetujui pemakaiannya bersama-sama dengan suaminya, maka harta yang diperoleh dari mahar itu tetap menjadi milik istri. Apabila terjadi perceraian di kemudian hari, harta yang diberikan sebagai mahar tidak dijadikan harta yang dibagi dengan suaminya. Ketika suami meninggal lebih dahulu, mahar itu bukan harta pusaka suami. Namun, apabila istri meridhai harta mahar itu digunakan untuk berdua, maka harta itu menjadi milik bersama.

E.    Pembinaan Keluarga

1.    Membina Kasih Sayang
Suami maupun istri berkewajiban membina dan mengembangkan kasih sayang diantara mereka. Kasih sayang harus dipelihara, ia tidak akan datang tanpa adanya usaha kedua belah pihak. Ia dapat berbentuk perhatian, kepedulian, dan kearifan dalam wujud kata-kata, perilaku, maupun isyarat-isyarat badaniah yang dipahami oleh masing-masing.
2.    Merawat dan Mendidik anak
Keluarga akan melahirkan keturunan, yaitu anak-anak yang akan menghuni masa depan kehidupan. Anak adalah amanat Allah yang diberikan kepada suami istri.
Merawat dan mendidik anak merupakan kewajiban ibu bapaknya dimulai sejak dalam kandungan ibunya. Pada saat dalam kandungan, ibu dan bapaknya berkewajiban untuk merawat dan mendidiknya dengan cara memberikan makanan yang halal dan baik kepada ibunya. Halal adalah konsumsi ruhaniyah yang dapat membentuk karakter dan tabiat anak yang dilahirkan.
Selama dalam kandungan, pendidikan dapat dilakukan dengan cara menciptakan suasana yang tenang, tentram , damai dan religius. Suasana damai yang disertai dengan do’a aka melahirkan suasana yang baik bagi perkembangan bayi dalam kandungan ibu.
Ketika anak itu lahir, disunatkan untuk diazani dengan ucapan-ucapan kalimah thayibah. Kalimat ini menjadi suara pertama yang masuk ke dalam telinga anak sehingga diharapkan suatu hari anak akan merindukannya.
Nabi mengajarkan agar pada hari ketujuh, anak diberi nama yang baik dan disembelihkan aqiqahnya, yaitu menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Nama bagi anak menjadi kebanggaan dan berpengaruh pada proses pendidikan anak pada masa selanjutnya.
Menyembelih aqiqah di samping bermakna ritual, berarti pula pengorbanan orang tua untuk anak yang menjadi tanggung jawabnya. Islam menganjurkan agar bayi disusui oleh ibunya maksimal sampai usia dua tahun. Proses pemberian ASI pada dasarnya bentuk komunikasi seorang ibu terhadap anaknya yang didasarkan atas rasa kasih sayang.
Pada usia balita sebaiknya anak dikhitan agar dia dapat membersihkan tubuhnya secar benar menurut ajaran Islam. Ketika usia tujuh tahun, anak dapat melakukan salat dan orang tuanya dapat menyuruhnya. Mendidik salat pada anak dilakukan dengan mengajak mereka salat bersama, membawanya ke tempat salat seperti masjid atau mushala dan menunjukkan pada mereka bagaimana orang malaksanakan salat.
Anak yang berusia sepuluh tahun harus bisa melaksanakan salat dan apabila tidak melaksanakannya, orang tua dapat member sanksi.

F.    Talak dan Iddah

Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw,  bersabda :
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَق
(رواه ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu    Daud)
Rukun Talak
a)      Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b)      Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c)      Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan carakinayah (sindiran).
Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata  yang  jelas  atau  dengan  kata-kata  sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh rujuk  (kembali) sebelum habis masa idahnya  dan apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. Pada talak  3  suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum  istrinya  itu nikah dengan laki-laki lain  dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu.
Macam-Macam Talak. Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu
1)      Talak Raj’i  yaitu  talak  dimana  suami  boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2)      Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
·         Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk  dengan cara akad  nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
·         Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam  talak ini suami tidak boleh rujuk  atau  menikah dengan  bekas istri kecuali  dengan syarat:
a)      Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b)      Telah dicampuri dengan suami yang baru.
c)      Telah dicerai dengan suami yang baru.
d)     Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.
Macam-macam Sebab Talak. Talak bisa terjadi karena :
1)      Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau  mentalaknya.
2)      Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3)      Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti : “Engkau seperti  punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap  salah satu cara  menceraikan istri.
4)      Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami. Talak tebus  biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
·         Istri sangat benci kepada suami,
·         Suami tidak dapat memberi nafkah.
·         Suami tidak dapat membahagiakan istri.
5)      Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
·         Karena rusaknya akad nikah seperti :
a)      diketahui bahwa istri adalah mahrom suami,
b)      Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
c)      Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.
 Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
a)      Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
b)      Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah         tangga.
c)      Suami dinyatakan hilang.
d)     Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.
 Iddah
Secara bahasa  iddah  berarti  ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1.      Lamanya Masa Iddah.
a.        Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b.       Wanita  yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya   4 bulan 10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh  ayat 234)
c.        Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci). (lihat QS.  Al-Baqoroh : 228)
d.       Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat  QS, At-Talaq :4)
e.        Wanita  yang  dicerai  sebelum  dicampuri  suaminya  maka  baginya  tidak ada  masa iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab  : 49)
2        Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.       Perempuan yang  taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk)  berhak mendapat dari suami yang mentalaknya: tempat  tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang  wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b.      Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak  atas tempat tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c.       Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak mendapat harta  warits suaminya.

G.   Hikmah Pernikahan

1.    Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2.    Menikah memuliakan kaum wanita.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
3.    Menikah adalah cara untuk melanjutkan keturunan.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang.
4.    Wujud kecintaan Allah SWT. Pada mahkluk-NYa untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud kecintaan
itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.







DAFTAR PUSTAKA