BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pernikahan, Hukum dan Tujuan Pernikahan
1. Pengertian
Pernikahan
Kata nikah berasal
dari bahasa arab yang berarti bertemu,
berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun
1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah
adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ غَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه
البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai
para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan
barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan
syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan
berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi
dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian
maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk
dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain
yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria
hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima
pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti
antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk
melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan
berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan
ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada
yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah
Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu
disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan,
mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan
belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang
berlaku dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku
pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun
wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1.
Yang
haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang
termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa
iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
2.
Yang
haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah
wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain
(talak tiga).
2. Hukum
Pernikahan
Menurut sebagian
besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh
dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1.
Jaiz,
artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.
Wajib,
yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3.
Sunat,
yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya
dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.
Makruh,
yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau
hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.
Haram,
yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk,
seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
3. Tujuan
Pernikahan
Secara umum tujuan
pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (pria terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan
dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.
Untuk
memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram.
2.
Membina
rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina
kasih sayang antara suami, istri dan anak.
3.
Untuk
memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.
Melaksanakan
Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan
dicatat sebagai ibadah.
5.
Mengikuti
Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan
beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam
haditsnya:
أَلنِّكَاحُ
سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
(رواه
البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku,
maka bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.
Untuk memperoleh
keturunan yang syah.
B. Persiapan
Nikah dan Khutbah
Keluarga sakinah
tidak akan tercipta begitu saja, tanpa ada usaha dari kedua belah pihak, yaitu
laki-laki dan perempuan sejak pra-pernikahan. Usaha tersebut bisa dilakukan
dalam bentuk pencarian dan penetapan calon pasangan dengan berbagai
pertimbangan yang sesuai anjuran Rasulullah.
Criteria mencari
calon pasangan yang dianjurkan Rasulullah, diungkapkan dalam hadist yang
artinya :
“Perempuan dinikah
karena 4 perkara : karena cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya.
Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau mendapat keuntungan. (HR. Bukhari dan
Muslim)”
Faktor agama
sangat penting dan menentukan terwujudnya keluarga sakinah. Suami-istri yang
beragama akan sama-sama memiliki ukuran dan rujukan yang sama, yaitu agama.
Jika suatu saat terjadi perselisihan antara keduanya, mereka akan merajuk pada
nilai-nilai yang dipegang bersama, yaitu nilai agama.
Perkawinan akan
langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami
dengan istri. Perbedaan budaya, adat, dan pendidikan pun tidak jarang
mengakibatkan kegagala suatu pernikahan, apalagi agama.
Dalam masa
pranikah sebaiknya dihindarkan berhubungan dengan orang yang berbeda agama.
Seorang muslim diharamkan oleh syariat Islam untuk menikah dengan non-muslim.
Pernikahan bukan semata-mata saling mencintai, melainkan memerlukan kesamaan
pandangan dasar yang akan menguatkan tali perkawinan sepanjang hayat bahkan
sampai akhirat. Al-Qur’an mengisyaratkan agar remaja tidak terjebak pada
kecantikan atau ketampanan fisik dalam memilih calon pasangan, tetapi utamakan
faktor agamanya, firman Allah yang artinya :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita muslim)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS. Al Baqarah, 2:221)”
Pertimbanga dalam
menentukan pasangan mengutamakan segi agamanya, yaitu Islam serta memiliki
sikap keberagamaan yang baik. Sikap beragama dapat dinilai dari konsistensi
pelaksanaan ibadahnya, seperti salat, puasa dan sebagainya, serta perilaku yang
ditampilkannya dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari.
Dalam persiapan
pernikahan, pihak laki-laki melamar kepada pihak perempuan yang disebut khitbah
yaitu pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan.
Seorang perempuan telah dilamar oleh seorng laki-laki, ia diharamkan untuk
menerima lamaran laki-laki lain, sebagaimana sabda Rasul yang artinya :
“Janganlah salah
seorang diantaramu meminang pinangan saudaranya, kecuali pinangan sebelumnya
meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin kepadanya. (HR. Bukhari dan
Muslim)”
Persiapan Pra
Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi dan
ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan
seorang laki-laki sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah
tangga samara (sakinah, mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja,
melainkan butuh persiapan-persiapan yang memadai sebelum muslimah melangkah
memasuki gerbang pernikahan.
Nikah adalah salah
satu ibadah sunnah yang sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian
yang sangat berat). Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan
suami-isteri dalam berumah tangga. Terutama bagi seorang muslimah, salah satu
ujian dalam kehidupan diri seorang muslimah adalah bernama pernikahan. Karena
salah satu syarat yang dapat menghantarkan seorang isteri masuk surga adalah
mendapatkan ridho suami. Oleh sebab itu seorang muslimah harus mengetahui
secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan
menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut antara lain :
1.
Persiapan
spiritual/moral (Kematangan visi keislaman) Dalam tiap diri muslimah, selalu
terdapat keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki
sholih, yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam
mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila
kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an bahwa wanita yang keji, adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik….” (QS An-Nuur: 26).
Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan untuk
mendapatkan seorang suami yang sholih, maka harus diupayakan agar dirinya
menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan diri seorang muslimah
sholihah, maka bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah dengan akhlaq
islami, tujuan nya bukan hanya semata untuk mencari jodoh, tetapi lebih kepada
untuk beribadah mendapatkan ridhoNya. Dan media pernikahan adalah sebagai salah
satu sarana untuk beribadah pula.
2.
Persiapan
konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)
Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala
: meningkatkan pahala dari Allah, terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang
yang telah menikah lebih baik daripada delapan puluh dua rokaatnya orang yang
bujang” (HR. Tamam).
Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya. Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.
Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya. Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.
3.
Persiapan
kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus
faham dan sadar betul bila menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita
kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang qowwam/pemimpin kita
yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah nanti salah satu
ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbiasa mandiri, maka
pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan
menjadi modal dalam berinteraksi dengan suami.
Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang
laki-laki yang menjadi suami kita, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita.
Latar belakang, suku, kebiasaan semuanya sangat jauh berbeda dengan kita
menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut tidak di atur
dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi
timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang
besar dalam menerima & berusaha mengenali suami kita.
4.
Persiapan
Fisik
Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang memadai
sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami
ataupun isteri secara optimal. Saat sebelum menikah, ada baiknya bila
memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah
reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah
penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin
yang kelak dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah
berobat.
5.
Persiapan
Material
Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis,
yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang
suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka diutamakan
adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan bagi fihak wanita, adanya
kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami berikhtiar
untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah menjadikan
bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang
baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.
24:32)”.
6.
Persiapan
Sosial Setelah sepasang manusia menikah berarti status sosialnya
dimasyarakatpun berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang tetapi telah
berubah menjadi sebuah keluarga. Sehingga mereka pun harus mulai membiasakan
diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga maupun di
masyarakat. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan
sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin,”Q.S. An-Nissa: 36).
Adapun persiapan-persiapan
menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak dapat dengan
begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk
mengkajinya. Untuk itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum
terikat oleh kesibukan rumah tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumah tangga kelak.
Khutbah nikah merupakan bagian atau salah satu jenis dari khutbah hajat.
Perbedaan antara khutbah nikah dengan khutbah yang lainnya hanya terletak pada
konteks keperluan dan situasi pelaksanaannya, yaitu ketika dilangsungkan
prosesi pertunangan atau akad pernikahan. Membacakan khutbah nikah pada situasi
seperti itu hukumnya dianjurkan dan sunnah sebagaimana disebutkan oleh
kebanyakan ulama fiqih. Namun demikian ada diantara mereka yang memandangnya
wajib, seperti menurut pendapat Dawud bin Ali dari
madzhabAdz-Dzaahiriyyah, Abu Ubaid al-Qasim, dan Abu Awaanah dari ulama
Syafiiyyah.
Kalangan yang
mewajibkan khutbah nikah mendasarkan pendapatnya pada salah satu hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
كُلُّ
أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ
“Setiap urusan yang baik tidak diawali
dengan pujian tehadap Allah adalah terputus (tidak sempurna)”
Selain dari itu,
Nabi sendiri dalam melangsungkan akad pernikahan baik untuk dirinya sendiri
maupun putra-putrinya selalu menyertainya dengan pembacaan khutbah
terlebih dahulu, seperti saat dia melangsungkan akad pernikahan dengan
Khadijah, pamannya Abu Thalib membacakan khutbah nikahnya. Sementara ketika
menikahi Aisyah binti Abu Bakar khutbah nikah Nabi dibacakan oleh Thalhah bin
Ubaidillah. Ketika Fatimah, putri Nabi ditikahkan kepada Ali bin Abi Thalib,
Nabi sendiri yang langsung membacakan khutbah nikahnya sekaligus untuk Ali dan
wali nikah (Nabi).
Ulama yang
memandang wajib khutbah nikah berpendapat bahwa khutbah nikah dalam suatu acara
prosesi akad pernikahan merupakan kegiatan yang lazim dilakukan dan bisa
diterima serta disepakati oleh orang-orang di setiap daerah dan setiap waktu,
sehingga seolah-olah menjadi kesepakatan (ijma) yang tidak berdampak pada
penentangan (khilaf). Khutbah nikah dapat menjadi kegiatan penting yang
membedakan antara pernikahan yang penuh dengan kesucian, kemeriahan dan
optimisme, dengan perbuatan zina yang penuh dengan dosa, penderitaan dan
pesimisme. Khutbah nikah juga bisa menjadi tanda diumumkannya suatu pernikahan
sebagaimana anjuran Nabi. Maka, khutbah nikah pun dengan demikian menjadi wajib
dalam setiap akad pernikahan, sebagaimana wali dan saksi. Inilah setidaknya
argumentasi yang dikemukakan oleh para pendudkung khutbah nikah.
Syarat dan Rukun
Khutbah Nikah
Abu Hasan
Al-Mawardiy mengemukakan dalam salah satu karya monumentalnya di bidang ilmu
fiqh, Al-Haawiy Al-Kabiir, syarat dan rukun khutbah nikah. Menurutnya,
syarat dan rukun khutbah nikah terdiri dari empat macam, yaitu:
·
Bersyukur
dan memuji kepada Allah,
·
Bershalawat
kepada Nabi SAW,
·
Berwasiat untuk
senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati-Nya
Membacakan salah satu
ayat al-Quran, terutama ayat yang khusus membicarakan masalah pernikahan
seperti ayat 32 dalam Surat an-Nuur
وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ
Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me-mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
Mengenai ayat
al-Quran yang dibacakan oleh seorang khatib apabila tidak berkaitan dengan
masalah pernikahan, maka diperbolehkan, karena maksud dari pembacaan ayat
tersebut adalah untuk memperoleh berkah dari kalamullah.
C. Perempuan
yang Haram di Nikahi
Mahram adalah sebuah istilah yang berarti wanita yang haram
dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi.
Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya
terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat
hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena
faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami,
hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa
iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang
agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Budha.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu
hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
1.
Kebolehan
berkhalwat (berduaan), Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih
dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2.
Kebolehan
melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan
kaki.
Sedangkan hubungan
mahram yang selain itu adalah sekedar haram untuk dinikahi, tetapi tidak
membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua atau melihat sebagian dari
auratnya. Hubungan mahram ini adalah hubungan mahram yang bersifat sementara
saja.
Mahram Dalam Surat An-Nisa. Allah SWT telah berfirman dalam surat
An-Nisa :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ
وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم
مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم
مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ
غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : Diharamkan atas kamu
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri
anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini
dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus
juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka
adalah
·
Ibu
kandung
·
Anak-anakmu
yang perempuan
·
Saudara-saudaramu
yang perempuan,
·
Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan
·
Saudara-saudara
ibumu yang perempuan
·
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
·
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
·
Ibu-ibumu
yang menyusui kamu
·
Saudara
perempuan sepersusuan
·
Ibu-ibu
isterimu
·
Anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
·
Isteri-isteri
anak kandungmu
Pembagian Mahram
Sesuai Klasifikasi Para Ulama. Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para
ulama membaginya menjadi dua klasifikasi besar.
·
Pertama
mahram yang bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat
selamanya antara laki-laki dan perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya.
·
Kedua
mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah
menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan
syariah yang terjadi.
Mahram Yang
Bersifat Abadi. Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi
tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab,
karena hubungan pernikahan (perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.
a. Mahram Karena Nasab
ü Ibu kandung dan seterusnya
keatas seperti nenek, ibunya nenek.
ü Anak wanita dan seteresnya ke
bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
ü Saudara kandung wanita.
ü Ammat / Bibi (saudara wanita
ayah).
ü Khaalaat / Bibi (saudara wanita
ibu).
ü Banatul Akh / Anak wanita dari
saudara laki-laki.
ü Banatul Ukht / anak wnaita dari
saudara wanita.
b. Mahram Karena
Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
ü Ibu dari istri (mertua wanita).
ü Anak wanita dari istri (anak
tiri).
ü Istri dari anak laki-laki
(menantu peremuan).
ü Istri dari ayah (ibu tiri).
c. Mahram Karena
Penyusuan
ü Ibu yang menyusui.
ü Ibu dari wanita yang menyusui
(nenek).
ü Ibu dari suami yang istrinya
menyusuinya (nenek juga).
ü Anak wanita dari ibu yang menyusui
(saudara wanita sesusuan).
ü Saudara wanita dari suami wanita
yang menyusui.
ü Saudara wanita dari ibu yang
menyusui.
Mahram Yang Bersifat Sementara. Kemahraman ini
bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi
seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk
ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
·
Istri
orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka
boleh dinikahi.
·
Saudara
ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak
boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi
bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu
sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang
tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari
istri.
·
Wanita
yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau
ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
·
Istri
yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi
seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan
kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan
telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
·
Menikah
dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji
atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya
selesai, maka boleh dinikahi.
·
Menikahi
wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu
menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
·
Menikahi
wanita pezina. Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina.
Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya
ulama membolehkannya.
·
Menikahi
istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
·
Menikahi
wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu
wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki
muslim untuk menikahinya.
Bentuk kemahraman
yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang
boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang
bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu hanyalah bila
wanita itu mahram yang bersifat abadi.
D. Pelaksanaan
Nikah
Pernikahan
dinyatakan sah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu adanya calon pasangan,
wali, dua orang saksi, mahar atau mas kawin dan ijab qabul. Masing-masing rukun
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Calon
pasangan suami-istri, yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah yang tidak
diharamkan untuk menikah.
2.
Wali,
yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali
nasab maupun wali hakim.
wali yang mempunyai hubungan darah dengan perempuan yang
dinikahkan sebagai berikut :
a)
Ayah
kandung
b)
Kakek
dari ayah
c)
Saudara
laki-laki seibu seayah
d)
Saudara
laki-laki seayah
e)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah
f)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki ayah
g)
Saudara
laki-laki dari seibu seayah dari ayah
h)
Saudara
laki-laki seayah dari ayah
i)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah dari ayah
j)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari ayah.
3.
Saksi,
yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atas terjadinya suatu
pernikahan untuk menguatkan akad nikah yang terjadi dan menjadi saksi keabsahan
keturunan yang lahir dari pernikahan tersebut.
4.
Mahar,
yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan ketika pernikahan. Jumlah
dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran Islam, tetapi dianjurkan
disesuaikan dengan kemampuan laki-laki. Apabila perempuan itu bercerai sebelum
bercampur (qabla dukhul), laki-laki memiliki hak untuk menerima pengembalian
mahar seperduanya. Apabila perceraian itu terjadi setelah bercampur (ba’da
dukhul), maka perempuan memiliki hak sepenuhnya terhadap mahar yang diterimanya
ketika pernikahan. Mahar merupakan hak perempuan (istri). Oleh karena itu, jika
istri tidak memberikan atau menyetujui pemakaiannya bersama-sama dengan
suaminya, maka harta yang diperoleh dari mahar itu tetap menjadi milik istri.
Apabila terjadi perceraian di kemudian hari, harta yang diberikan sebagai mahar
tidak dijadikan harta yang dibagi dengan suaminya. Ketika suami meninggal lebih
dahulu, mahar itu bukan harta pusaka suami. Namun, apabila istri meridhai harta
mahar itu digunakan untuk berdua, maka harta itu menjadi milik bersama.
E. Pembinaan
Keluarga
1. Membina
Kasih Sayang
Suami maupun istri berkewajiban membina dan mengembangkan
kasih sayang diantara mereka. Kasih sayang harus dipelihara, ia tidak akan
datang tanpa adanya usaha kedua belah pihak. Ia dapat berbentuk perhatian,
kepedulian, dan kearifan dalam wujud kata-kata, perilaku, maupun
isyarat-isyarat badaniah yang dipahami oleh masing-masing.
2. Merawat
dan Mendidik anak
Keluarga akan melahirkan keturunan, yaitu anak-anak yang
akan menghuni masa depan kehidupan. Anak adalah amanat Allah yang diberikan
kepada suami istri.
Merawat dan mendidik anak merupakan kewajiban ibu bapaknya
dimulai sejak dalam kandungan ibunya. Pada saat dalam kandungan, ibu dan
bapaknya berkewajiban untuk merawat dan mendidiknya dengan cara memberikan
makanan yang halal dan baik kepada ibunya. Halal adalah konsumsi ruhaniyah yang
dapat membentuk karakter dan tabiat anak yang dilahirkan.
Selama dalam kandungan, pendidikan dapat dilakukan dengan
cara menciptakan suasana yang tenang, tentram , damai dan religius. Suasana
damai yang disertai dengan do’a aka melahirkan suasana yang baik bagi
perkembangan bayi dalam kandungan ibu.
Ketika anak itu lahir, disunatkan untuk diazani dengan
ucapan-ucapan kalimah thayibah. Kalimat ini menjadi suara pertama yang masuk ke
dalam telinga anak sehingga diharapkan suatu hari anak akan merindukannya.
Nabi mengajarkan agar pada hari ketujuh, anak diberi nama
yang baik dan disembelihkan aqiqahnya, yaitu menyembelih dua ekor kambing untuk
anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Nama bagi anak menjadi
kebanggaan dan berpengaruh pada proses pendidikan anak pada masa selanjutnya.
Menyembelih aqiqah di samping bermakna ritual, berarti pula
pengorbanan orang tua untuk anak yang menjadi tanggung jawabnya. Islam
menganjurkan agar bayi disusui oleh ibunya maksimal sampai usia dua tahun.
Proses pemberian ASI pada dasarnya bentuk komunikasi seorang ibu terhadap
anaknya yang didasarkan atas rasa kasih sayang.
Pada usia balita sebaiknya anak dikhitan agar dia dapat
membersihkan tubuhnya secar benar menurut ajaran Islam. Ketika usia tujuh
tahun, anak dapat melakukan salat dan orang tuanya dapat menyuruhnya. Mendidik
salat pada anak dilakukan dengan mengajak mereka salat bersama, membawanya ke
tempat salat seperti masjid atau mushala dan menunjukkan pada mereka bagaimana
orang malaksanakan salat.
Anak
yang berusia sepuluh tahun harus bisa melaksanakan salat dan apabila tidak
melaksanakannya, orang tua dapat member sanksi.
F. Talak
dan Iddah
Talak
Menurut
bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya
ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh,
sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi
Muhammad saw, bersabda :
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَق
(رواه ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling
dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
Rukun Talak
a) Yang
menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b) Yang
dijatuhi talak adalah istrinya.
c) Ucapan
talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan
carakinayah (sindiran).
Cara sharih, misalnya “saya talak
engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak
memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka
jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah, misalnya “Pulanglah
engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah
tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi
kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak
berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat
diucapkan/dituliskan dengan
kata-kata yang jelas atau dengan kata-kata sindiran.
Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh
rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan
apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. Pada
talak 3 suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh
nikah lagi sebelum istrinya itu nikah
dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak
oleh suami keduanya itu.
Macam-Macam Talak. Talak dibagi menjadi
2 macam yaitu
1) Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh
rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami
kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk
kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2) Talak
Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain
kubra.
· Talak bain
sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan
talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh
rujuk dengan cara akad nikah lagi baik masih dalam masa
idah atau sudah habis masa idahnya.
· Talak bain
kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga)
dalam waktu yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh
rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat:
a) Bekas
istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b) Telah
dicampuri dengan suami yang baru.
c) Telah
dicerai dengan suami yang baru.
d) Telah
selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.
Macam-macam Sebab Talak. Talak bisa
terjadi karena :
1) Ila’ yaitu
sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan
adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah
kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim
berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
2) Lian, yaitu
sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4
kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas
diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali
dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan
itu benar”.
3) Dzihar, yaitu
ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya
seperti : “Engkau seperti punggung ibuku “. Dzihar merupakan
adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap salah satu
cara menceraikan istri.
4) Khulu’ (talak
tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada
suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak
antara lain:
· Istri
sangat benci kepada suami,
· Suami
tidak dapat memberi nafkah.
· Suami
tidak dapat membahagiakan istri.
5) Fasakh, ialah
rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
· Karena
rusaknya akad nikah seperti :
a) diketahui
bahwa istri adalah mahrom suami,
b) Salah
seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
c) Semula
suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.
Karena
rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
a) Terdapat
unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
b) Suami/istri
mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan
rumah tangga.
c) Suami
dinyatakan hilang.
d) Suami
dihukum penjara 5 tahun/lebih.
Iddah
Secara
bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut
istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai
suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1. Lamanya
Masa Iddah.
a. Wanita
yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak
:4)
b. Wanita yang
tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa
idahnya 4 bulan 10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat
234)
c. Wanita
yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3
kali quru’ (tiga kali suci). (lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d. Wanita
yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan.
(Lihat QS, At-Talaq :4)
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2 Hak
Perempuan Dalam Masa Iddah.
a. Perempuan
yang taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak
mendapat dari suami yang mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang
belanja. Sedang wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita
dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya
berhak atas tempat tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c. Wanita
dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak
mendapat harta warits suaminya.
G. Hikmah
Pernikahan
1.
Menikah
akan meninggikan harkat dan martabat manusia.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2.
Menikah
memuliakan kaum wanita.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
3.
Menikah
adalah cara untuk melanjutkan keturunan.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang.
4.
Wujud
kecintaan Allah SWT. Pada mahkluk-NYa untuk dapat menyalurkan kebutuhan
biologis secara terhormat dan baik.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
DAFTAR PUSTAKA